SELAIN dikenal sebagai tokoh pendidikan, Syed Naquib al-Attas juga diakui sebagai seorang pemikir sastra dan kebudayaan. Ia tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan nternasional. Salah satu gagasannya yang cukup menarik adalah menawarkan term ta`dib sebagai dasar konsep pendidikan Islam.
Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Ia menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan pendidikan Islam.
Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti ungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ nilai adab (Kholiq, at. al., 1999: 275).
Al-Attas berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah penggunaan istilah tarbiyah, sebagaimana yang dipakai sebagian pakar pedagogis Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Kerangka dasar ini yang membedakan konsep al-Attas dengan konsep tarbiyah. Bahwa manusia adalah subjek yang dapat dididik, bukan binatang atau pun tumbuhan. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).
Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu.
Al-Attas ingin menampilkan pendidikan yang terpadu, yakni antara dimensi Abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardl. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
Relevansi pendidikan Islam masa kini
Sebagaimana pemilihan sekaligus tawaran al-Attas mengenai konsep ta’dib, bahwa akhir-akhir ini sepertinya mempunyai relevansinya. Hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Karena itu, gagasan al-Attas tentunya mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan (equiliberium), bercorak moral dan rilegius. Secara ilmiah at-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang jelas. Dengan demikian, ia telah berusaha menampilkan ide-idenya itu dengan sejumlah alasan yang cukup kuat.
Gagasan ini bisa ditempatkan sebagai paradigma masa depan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Jika dipandang secara filofosis, kerangka metodologisnya memang memiliki signifikasi yang sangat jelas. Secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis term ta’dib memiliki kekokohan makna yang sangat tinggi. Dibandingkan dengan term yang lain, ta’dib lebih memiliki jangkauan yang lebih luas dan mencapai sasaran yang jelas.
Semakin bisa dirisakan bahwa pendidikan masa kini mengalami orientasi yang bias. Aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya. Dengan mengembangkan term ta’dib, diharapkan pendidikan Islam dapat tercipta keutuhan sebagaimana yang dicita-citakan ajaran agama itu sendiri, selain harapan semua manusia.
Dengan menggunakan ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercaver di dalam sistem pendidikan. Jadi pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan serta menjawab tuntutan kemoderenan.
Daftar Rujukan
Al-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro.
Ismail SM. dkk. [ed.]. 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, ‘Abd Fatah, 1977. Minal Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub Missriyah.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Arifin, Syamsul, dkk., 1996. Spiritulituasasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarya: Sipress.
Esposito, John L., 2001, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan.
Al-Attas, Syed Naquib, 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV. Bandung: Mizan.
-------------, 1995. Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Bandung: Mizan.
------------, 1978. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ABIM.
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Ismail SM. Paradigma Pendidikan Islam, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999. Pemikiran Pendidikan Islam, kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muzani, Saiful, 1991. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.