Minggu, 14 November 2010

Melacak Asal-Usul Kata “Sufi”



Keberadaan kata “sufi” atau “tasawuf” memang cukup aneh. Kata ini menjadi kata kunci dari arus besar gerakan religius yang mendunia. Tapi, tak ada yang bisa memastikan dari mana kata-kata itu muncul, siapa pula pencetusnya?
Kata “sufi” ataupun “tasawuf” tidak pernah ada dalam kamus Hadis, dan tidak pernah muncul pada masa Sahabat Rasulullah Sallâllahu'alaihiwasallam Ada yang menengarai bahwa istilah “sufi” mulai masyhur dipakai pada abad kedua Hijriah. Ada pula yang menengarai pada abad ketiga. Yang jelas, sebelum menjadi istilah yang masyhur itu, kata “sufi” ini telah mengalami serangkaian proses yang mungkin sangat panjang. Tokoh pertama bergelar “sufi” yang dikenal oleh sejarah adalah Abu Hasyim ash-Shufi (w. 150 H). Ia adalah tokoh zuhud di Baghdad yang dikagumi oleh banyak ulama, di antaranya Abu Sufyan ats-Tsauri.
Sebelum Abu Hasyim, kemungkinan besar kata “sufi” sudah mulai banyak dipakai. Ibnu Hajar al-Haitami menyebutkan bahwa Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H) pernah bercerita, “Aku melihat seorang sufi di tempat tawaf. Akhirnya, aku beri dia sesuatu, tapi ia berkata: Aku punya empat danîq (danîq=1/6 dirham) yang cukup untuk kebutuhanku.”
Mengenai latar belakang kemunculan istilah “sufi” itu di tengah-tengah umat Islam, Imam al-Qusyairi memberikan sebuah analisis yang setidaknya bisa memberikan sedikit gambaran mengenai asal muasal kata-kata ini. Kata “sufi” menurutnya muncul sebagai kelanjutan dari istilah “Sahabat”, “Tabiin” dan “Tabiut-Tabiin”.
Setelah Rasulullah Sallallâhu'alaihiwasallam wafat, maka gelar paling mulia yang disematkan kepada sebuah generasi adalah “Sahabat”. Kemudian, orang-orang yang menututi mereka disebut “Tabiin”, dan generasi berikutnya disebut “Tabiut-Tabiin”. Setelah itu, orang-orang yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama disebut dengan julukan “az-Zuhhâd” (kelompok ahli zuhud) atau “al-‘Ubbâd” (kelompok ahli ibadah).
Pada fase ini, kata Imam al-Qusyairi, banyak klaim terhadap gelar az-Zuhhâd dan al-‘Ubbâd. Aliran-aliran sesat mengklaim bahwa merekalah az-Zuhhâd dan al-‘Ubbâd. Hal ini kemudian mengilhami orang-orang zuhud dari kalangan Ahlusunah untuk membuat istilah tersendiri, yaitu tasawuf atau sufi.
Pemetaan yang dilakukan oleh Imam al-Qusyairi tentang fase kelahiran istilah “sufi” ini bisa menjadi salah satu peta penunjuk untuk mengungkap misteri kelahiran tasawuf, sebab beliau merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan ilmu tasawuf. Namun demikian, pendapat beliau itu belum bisa menjadi kesimpulan yang final, karena bila digabung dengan riwayat mengenai penggunaan kata “sufi” oleh Hasan al-Bashri dan gelar sufi yang disematkan kepada Abu Hasyim, maka masih ada kerancuan mengenai pemetaan periodenya. Sebab, awal abad kedua yang ditengarai sebagai kelahiran istilah “sufi” itu masih merupakan masa perpindahan dari masa Tabiin ke Tabiut-Tabiin. Hasan al-Bashri termasuk generasi Tabiin, karena konon beliau pernah bertemu Sayidina Ali bin Abi Thalib Sallâllahu'alaihiwasallam.
Jika mengikuti kronologi yang disampaikan oleh Imam al-Qusyairi ini, berarti tasawuf, secara historik setali tiga uang dengan zuhud. Sufi merupakan istilah khusus yang dilahirkan oleh ulama-ulama Ahlusunah untuk menyebut kelompok zuhud. Tasawuf hanyalah istilah baru untuk sesuatu yang sudah lama. Inti dari tasawuf adalah ajaran untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Sallâllahu'alaihiwasallam dan dipraktikkan dengan sungguh-sungguh oleh para Sahabat, khususnya kalangan Ahlus-Shuffah.
Kesimpulan bahwa inti dari amalan tasawuf telah dipraktekkan pada masa Rasulullah Sallâllahu'alaihiwasallam dan para Sahabat, hal itu hampir menjadi kesepakatan di antara para penulis tentang dunia tasawuf. Ada banyak Sahabat yang mengilhami kalangan sufi, misalnya Khulafaur Rasyidin, Shuhaib bin Sinan, Abu Dzar al-Ghifari, Abud Darda’ dan lain sebagainya.
Namun demikian, masih ada kelompok-kelompok tertentu yang menganggap tasawuf sebagai ajaran baru yang mengada-ada atau bidah yang tercela. Kelompok yang sinis terhadap tasawuf, umumnya berasal dari kalangan Wahabi dan yang sepaham. Ada di antara mereka yang menganggap bahwa benih tasawuf lahir di Kufah melalui kelompok at-Tawwabin atau al-Bakka’in, yakni orang-orang Syiah yang meratapi kematian al-Husain di Karbala dan menampakkan penyesalan yang mendalam terhadap diri mereka karena tidak mampu membela cucu Rasulullah itu dari keganasan pasukan Ibnu Ziyad.
Di antara argumentasi kelompok Wahabi yang menyatakan bahwa tasawuf lahir dari Syiah adalah pernyataan Ibnu an-Nadim dalam al-Fihrisat bahwa Jabir bin Hayyan (w. 208) yang dikenal dengan gelar “ash-Shufi” diklaim oleh orang-orang Syiah dan filsuf sebagai salah satu tokoh penting mereka.
Tuduhan bahwa sufi lahir dari rahim Syiah semacam di atas merupakan tuduhan yang lemah dari segi argumentasi. Sebab, Ibnu an-Nadim tidak pernah menyatakan bahwa Jabir bin Hayyan adalah orang pertama yang bergelar “sufi” apalagi sebagai pencetus istilah sufi. Sementara, pernyataan mereka bahwa tasawuf lahir di Kufah dari benih kelompok at-Tawwabin justru bertentangan dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, ulama yang menjadi idola mereka. Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul-Fatâwâ menyatakan bahwa tasawuf pertama kali muncul di Basrah.
Ihsan Ilahi Zhahir, tokoh Wahabi di Lahore, Pakistan, yang sangat benci terhadap tasawuf, dalam bukunya, at-Tashawwuf: al-Mansya’ wal-Mashâdir banyak menyebutkan pengaruh timbal balik antara Syiah dan tasawuf—menurut asumsinya. Bahkan, dengan tanpa risih ia mendukung pernyataan orang-orang orientalis Barat bahwa paham tasawuf lahir dari ramuan paham keagamaan Yahudi, Majusi, Nasrani, Budha, Hindu dan filsafat Yunani.
Dalam bukunya itu, secara tersirat, Zhahir juga menyatakan bahwa keputusan Ibrahim bin Adham meninggalkan istana untuk menempuh pengembaraan tasawufnya terpengaruh oleh apa yang dilakukan oleh Budha. Menyatakan bahwa Ibrahim bin Adham terpengaruh oleh Budha karena sama-sama meninggalkan istana, sama halnya dengan menyatakan bahwa Islam terpengaruh oleh filsafat Aristoteles karena sama-sama menyatakan bahwa tuhan itu satu.
Dalam hal ini, kalangan Wahabi rupanya banyak meniru cara pandang orientalis dalam mengamati dan menilai tasawuf. Hanya karena adanya satu titik kesamaan dari seribu titik yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain, mereka sudah berani menyim-pulkan bahwa kelompok yang satu terpengaruh atau terlahir dari kelompok yang lain, tanpa dilandasi oleh data-data sejarah sedikitpun. Ini tentu merupakan kesalahan berpikir yang parah.[]

Muqoddimah Da'wah ikhwanul Muslimin


Siapapun yang mendalami ilmu agama Allah mengetahui bahwa posisi da’wah ilallah
berada pada posisi yang paling tinggi dan sarana mendekatkan diri pada Allah yang paling baik.
Kenapa tidak? Da’wah adalah misi para Anbiya, jalan para rasul dan auliya. Dengan jalan itulah,
rahmat Allah menyebar dan kesesatan lenyap.
Karena itu, banyak sekali ayat-ayat yang terang, serta arahan hadits-hadits shahih yang jelas
menerangkan masalah ini. Allah swt. berfirman:
Dan hendaklah di antara kalian ada sekelompok yang menyeru kepada kebaikan dan
memerintahkan yang ma’ruf serta melarang yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
“Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, memerintahkan kepada yang
ma'ruf dan melarang yang mungkar, serta beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110
)
Bersabda Rasulullah saw.,
"Demi Dzat Yang Jiwaku Ada dalam Tangan-Nya. Pasti kalian akan memerintahkan yang ma'ruf
dan melarang yang mungkar. Atau (bila kalian tidak melakukan hal tersebut), niscaya Allah akan
menimpakan hukuman atas kalian, setelah itu kalian memohon kepada-Nya, dan tidak dikabulkan."
(HR. Turmudzi, dan mengatakan hadits hasan).
Keadaan mereka sebagaimana ungkapan Imam Ahmad rahimahullah yang dinukil dalam kitab
I'lam
al-Muwaqi'in: “
Mereka menyeru yang tersesat pada petunjuk, menghidupkan orang-orang yang
mati dengan Kitabullah, menjelaskan orang-orang yang buta dengan cahaya Allah. Berapa banyak
korban-korban iblis yang mereka hidupkan kembali? Berapa banyak mereka yang tersesat terlunta-
lunta mendapat petunjuk kembali."
Karena itu mereka, para da'i, memang layak memperoleh do'a dari semut yang ada di
sarangnya, hingga ikan yang ada di lautan. Mereka di bumi ini, ibarat bintang di langit. Melalui
merekalah orang-orang yang ragu-ragu dalam kegelapan dapat tertuntun kembali.


Kenapa tidak? Merekalah yang menyampaikan ajaran Allah dan melanjutkan misi para
Anbiya setelah tidak ada lagi rasul sesudah Muhammad saw. dan wahyu telah terputus dari langit.
“Demikianlah kami jadikan kalian sebagai ummat pertengahan.. Agar kalian menjadi saksi atas
manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian."
(QS Al-Baqarah: 143)

Perang Daumatul Jandal


Perang Daumatul Jandal



Perang ini berlaku pada bulan Ogos 633M. Selepas kemenagan tentera Islam di dalam Perang Yamamah, Khalifah Abu Bakar menghantar seorang panglima dari Madinah, Iyadh ibn Ghanam bersama 4,000 orang perajurit ke Daumatul Jandal untuk menawan semula bandar itu daripada Bani Kalb yang murtad.
Namun bandar itu dipertahankan oleh pasukan pemberontak murtad seramai 15,000 orang yang diketuai oleh Judi ibn Rabiah dengan dibantu oleh Ukaidar ibn Abdul Malik. Ini kerana bandar itu mempunyai sumber bekalan makanan dan kewangan yang cukup berikutan lokasinya yang terletak di antara Damsyik dan Kufah. Kota ini menjadi tumpuan para pedagang yang berulang-alik antara Damsyik dan Kufah seterusnya menjadi pusat perdagangan di utara semenanjung Arab.
Setelah kehabisan ikhtiar, Iyadh ibn Ghanam menghantar surat kepada Khalid ibn al-Walid berkenaan dengan keadaan di Daumatul Jandal. Khalid yang ketika itu baru saja menguasai Ainul Tamar dalam Perang Ainul Tamar bersama 6,000 orang tentera bergegas ke Daumatul Jandal.
Hari pertempuran
Setibanya Khalid di Daumatul Jandal, beliau membahagikan tenteranya kepada dua pasukan di mana pasukan Iyadh berada di timur, utara dan barat bandar Daumatul Jandal manakala tentera Khalid sendiri berada di bahagian selatan iaitu di bahagian belakang bandar Daumatul Jandal.
Berbanding dengan taktik serang-lari-serang di dalam kempen menyebarkan Islam di Parsi, Khalid kali ini mengambil strategi dengan bertahan. Setelah bosan melihat tentera Islam tidak menggerakkan tenteranya, Judi ibn Rabiah melancarkan serangan ke atas Khalid dan Iyadh dengan membahagikan pasukannya kepada dua bahagian di mana pasukan yang terkuat yang diketuai oleh beliau sendiri digunakan untuk menyerang Khalid sementara yang lain dipimpin oleh Ukaidar bin Abdul Malik menyerang tentera Iyadh.
Setelah pasukan pemberontak murtad melancarkan serangannya, keseluruhan tentera Islam yang sedang mengepung bandar itu melancarkan serangan dari arah yang bertentangan menyebabkan pasukan pemberontak murtad tersepit seterusnya memaksa mereka berundur ke dalam bandar. Namun sebahagian tentera Islam pimpinan Iyadh berjaya mengawal pintu masuk ke bandar tersebut menyebabkan hampir kesemua pasukan pemberontak pimpinan Judi tewas dan beliau sendiri dibunuh.
Selepas pertempuran ini, bandar ini berjaya dikuasai semula oleh tentera Islam.

Perang Badar dan Perang Uhud


1. Perang Badar

 Perang Badar Raya terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 Hijriah. Perang ini
bermula dari kesalah¬pahaman kafilah dagang kaum Musyrikin Makkah yang sedang
kembali dari Syam menuju Makkah. Rasulullah memerintahkan sejumlah sahabatnya
untuk mengamati kafilah Quraisy yang sedang lewat di wilayah Madinah itu tanpa
berrnaksud untuk berperang di bawah pimpinan Nabi saw. sendiri.

 Begitu melihat rombongan orang Madinah yang mendekati kafilahnya, segeralah
Abu Sofyan, pim¬pinan kafilah, mengutus anak buahnya untuk segera minta bantuan
dari Makkah. Segeralah datang pasukan dari Makkah dengan kekuatan 1.000 orang
tentara, 600 orang di antaranya berkuda (kavaleri) yang merangkap sebagai kompi
perbeka¬lan (logistik), dan 300 orang tentara cadangan yang merangkap sebagai
regu musik. Di samping itu mereka juga membawa 700 ekor unta. Regu musiknya
sepanjang jalan menggemakan lagu-lagu perang, terutama yang berisikan ejekan
terhadap Nabi saw. dan kaum Muslimin.

 Kompi patroli yang dikerahkan Nabi saw. sendiri berke¬kuatan 313 prajurit,
dengan 70 ekor unta, dan tidak lebih dari 3 ekor kuda. Mereka kebanyakan
terdiri dan penduduk asli Madinah. Mereka mengendarai tunggangan yang ada itu
secara bergantian.

 Beberapa saat sebelum berangkat Nabi Muham¬mad saw. bermusyawarah dengan para
sahabatnya dari kalangan Anshar, tentang kelompok mana yang lebih dulu
diterjunkan ke medan laga. Kelompok Muhajirin segera menawarkan diri dan
menyatakan sanggup. Sementara itu kelompok Anshar juga paham, Nabi saw.
menghendaki agar merekalah yang lebih dahulu terjun walaupun Nabi belum
berterus terang menyatakan maksudnya itu. Karena itulah Saad bin Muaz, sebagai
sesepuh kaum Anshar, bangkit menyatakan kesiapannya untuk diterjunkan lebih
dahulu.

 Saad bin Muaz berkata, Wahai Rasulullah, sungguh kami ini telah beriman
kepadamu, telah seratus persen meyakini agama dan telah mengakui kebenaran
agama yang engkau bawa kepada kami. Kami telah bersumpah setia untuk
melaksanakan semua yang telah kami janjikan kepadamu. Oleh karena itu,
segeralah laksanakan apa yang telah menjadi keputusanmu, ya Rasulullah, dan
kami setia kepadamu. Demi Allah yang telah membangkitkanmu dengan membawa
kebenaran, kalau engkau perintahkan kami untuk mengarungi lautan ini (perang),
niscayalah kami arungi bersamamu. Tak seorang pun di antara kami ini yang akan
menolak komandomu dan tak seorang pun yang akan mundur dari medan laga, hari
ini atau besok. Kami sanggup tabah menjalani peperangan ini dan telah siap
sedia untuk syahid di dalamnya. Mudah-mudahan Allah swt. merestui apa-apa yang
engkan percayakan kepada kami dan marilah berangkat bersama kami, dalam berkah
Ilahi.

 Banyak lagi kalangan Anshar yang memberikan pernyataan serupa, sehingga
legalah hati Nabi Saw.

 Seusai rapat itu, Nabi saw. bersabda, Berangkatlah kamu bersama inayah Allah,
dan berbesar hatilah. Allah telah menggariskan dua pilihan menang atau kalah.

 Kemudian Nabi saw. berangkat dengan pasu¬kannya untuk segera menduduki sebuah
telaga kecil yang ada di Gunung Badar itu. Setiba di sana, berka¬talah Habbab
bin Munzir, Ya Rasulullah, tempat atau daerah ini telah dianugerahkan oleh
Allah kepadamu (telah diduduki lebih dahulu) dan janganlah engkau maju atau
mundur dari tempat ini, apa pun yang terjadi, baik pasukan kita maju atau
mundur, atau terjadi kejar mengejar. Kita harus bertahan di daerah ini.
Rasulullah menjawab, Memang begitulah seharusnya.

 Kemudian Habbab menunjuk sebuah telaga lain dan berjalan ke sana bersama-sama
untuk lebih da¬hulu menguasainya, sehingga memungkinkan ten¬tara-tentara Islam
untuk memutuskan jalur suplai air. Di dekat telaga inilah pasukan dipusatkan,
dan Saad bin Muaz mengerahkan kawan-kawannya untuk mendirikan kemah dan dikawal
oleh beberapa prajurit.

 Akan tetapi Rasulullah heran terhadap komando dan kerja Saad itu, lalu beliau
bertanya kepada Saad, Untuk apa itu kau lakukan. Sudah banyak kaum yang
bergabung dengan kami, tetapi belum ada orang yang sangat kami cintai selain
engkau, ya Rasulullah. Kami boleh mati saat ini juga, tetapi engkau harus
kembali dalam keadaan selamat, jawab Saad. Jika mereka ini (prajurit-prajurit
Anshar) tahu engkau terancam, tentulah mereka tidak mau jauh darimu.

 Mendengar penjelasan itu berdoalah Nabi saw. agar ia (Saad) dan seluruh
tentaranya selamat dan memenangkan peperangan, dan apa yang diusulkan Saad tadi
diperkenankan olehnya.

 Tatkala kedua belah pihak telah berhadap-¬hadapan untuk memulai penyerbuan,
tampillah Nabi saw. mengatur barisan seraya memberi semangat kepada seluruh
prajurit, Demi Allah yang nyawaku ini ditangannya, musuh-musuh kita sekarang
akan menghadapi pahlawan¬-pahlawan yang sabar dan tangguh, serta akan
memenang¬kan peperangan. Jika satu di antaranya terbunuh, maka Allah yang akan
memasukkannya ke surga.

 Kemudian Nabi kembali ke kemahnya bersama Abu Bakar, sementara Saad bin Muaz
mengawalnya dengan pedang terhunus. Nabi berdoa, Ya Allah, aku nantikan
janji-Mu. Ya Allah, jika pasukanku ini kalah, niscaya tidak ada lagi orang yang
akan menyembahmu di bumi ini.

 Beliau terus melakukan shalat khauf dan sujud agak lama, lalu diingatkan oleh
Abu Bakar dengan ucapan, Bangunlah, sebentar lagi Allah akan menunaikan
janjinya kepadamu.

 Tak berapa lama ternyata perang telah berhenti dan kemenangan diraih oleh
pihak Islam. Dan pihak Quraisy kurang lebih 70 orang terbunuh, termasuk orang
yang paling musyrik, Abu Jahal, dan pemim¬pin lainnya, 70 orang lainnya
tertawan. Setelah mayat-mayat tentara itu dimakamkan kembalilah Nabi saw.
dengan pasukannya ke Madinah. Kemu¬dian beliau bermusyawarah dengan beberapa
orang sahabat guna membicarakan tindakan yang akan diambil terhadap
tawanan-tawanan perang itu. Umar bin Khattab mengusulkan agar mereka dibunuh
saja. Tetapi, Abu Bakar mengusulkan agar mereka dibebaskan dengan syarat
memberikan tebu¬san. Pendapat inilah yang disetujui untuk ditetapkan sebagai
keputusan resmi. Maka ditebuslah tawanan-tawanan itu oleh kaum musyrikin Makkah.

 Tentang Perang Badar ini turun ayat, Sungguh Allah telah menolong kamu dalam
Perang Badar, padahal kamu pada waktu itu dalam keadaan lemah. Karena itu
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mensyukurinya. Cukuplah jika kamu sabar
dan siaga, dan mereka datang menyerang kamu seketika itu juga niscaya Allah
menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ingatlah ketika
kamu mengatakan kepada orang-orang Mukmin, apakah tidak cukup bagi kamu Allah
membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit). Dan
Allah tidak menja¬dikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar
gembira bagi kemenanganmu dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenangan
itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Untuk
membinasakan golongan orang-orang kafir, atau untuk menjadikan mereka itu hina,
lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa. (QS. Ali Imran: 123 - 127)

 Di samping itu turunlah pula ayat yang berisi teguran buat Nabi saw. atas
keputusannya membe¬baskan tawanan-tawanan perang dengan rnensyarat¬kan tebusan,
yaitu, Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedang
Allah menghendaki (pahala) akhirat. Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah
sebagian harta rampasan perang, dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Anfal:67-69)


  2. Perang Uhud

 Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu tanggal 15 Syawal 3 Hijriah. Orang-orang
Quraisy Makkah berambisi sekali membalas kekalahannya pada perang Badar Raya.
Dipersiapkannya suatu pasukan besar dengan kekuatan 3.000 orang serdadu. Dalam
pasukan itu terdapat 700 ratus infanteri, 200 orang tentara berkuda (kavaleni)
dan 17 orang wanita. Seorang di antara mereka yang tujuh belas ini adalah
Hindun bin Utbah, isteri Abu Sofyan. Ayahnya yang bernama Utbah telah terbunuh
pada perang Badar Raya.Pasukan Quraisy ini dipusatkan di suatu lembah di
pegunungan Uhud, suatu pegunungan yang terletak 2 kilometer sebelah utara
Madinah.Menghadapi tantangan ini, Nabi saw. dan beberapa orang sahabatnya
berpendapat kaum Muslimin tidak perlu menemui musuh-musuh yang sudah siap siaga
itu. Sebaliknya orang-orang Islam tetap siaga di Madinah dengan taktik bertahan
(defensif). Akan tetapi sekelompok orang Islam (Muhajirin dan Anshar) terutama
pemuda-pemuda yang tidak ikut ambil bagian dalam perang Badar
 mendesak untuk menemui tentara-tentara Quraisy dan ingin menghajarnya di
gunung Uhud. Atas desakan itu Nabi surut dari pendapatnya semula. Masuklah
beliau ke rumahnya, lalu keluar dalam keadaan sudah siap dengan mengenakan baju
besi, menyandang tameng dan memegang tombak serta pedang.

 Melihat gelagat Nabi itu, sebagian sahabat yang tadinya sependapat dengan
beliau menyatakan penyesalannya terhadap orang-orang yang memaksakan
keinginannya untuk berperang. Mereka yang memandang tidak perlu meladeni
tentara-tentara Quraisy tadi mengatakan kepada Nabi, Kami tidak mau
mengirimmu. Jika engkau tetap setuju berangkat, berangkatlah; dan jika akan
engkau urungkan, urungkanlah.

 Rasulullah saw. menjawab, Tidak pantas bagi seorang Nabi yang sudah
mengenakan baju besi untuk menanggalkannya kembali, hingga Allah menetapkan
sesuatu baginya dan bagi musuh.

 Kemudian beliau berangkat bersama lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus
orang memakai baju besi dan hanya dua orang tentara berkuda.

 Setelah berangkat, Nabi Muhammad kembali menyeleksi pasukannya dan ternyata di
dalamnya terdapat ratusan orang Yahudi yang menggabungkan diri dengan tentara
Islam. Mereka itu dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Nabi bertanya
kepada sahabat-sahabatnya, Apakah mereka telah masuk Islam? Belum, jawab
sahabat. Rasulullah memerintahkan, Usir mereka dan perintahkan agar kembali ke
Madinah. Kita tidak perlu bantuan orang-orang Musyrik untuk menghadapi
orang-orang Musyrikin.

 Mereka yang berjumlah 300 orang itu pun keluar dari pasukan, dan tinggallah
700 orang pasukan Nabi. Sesampainya di pegunungan Uhud, segera di lakukan
pengaturan pasukan dan pembagian posisi. Lima puluh personil ditempatkan di
sebuah bukit yang terletak di belakang lereng, di mana pasukan dikonsentrasikan
di bawah pimpinan Abdullah bin Jabir Al-Anshary. Mereka bertugas menghadang
pasukan musuh yang akan rnenyerang dari bukit itu.

 Rasulullah mengomandokan kepada penjaga bukit ini, Siagalah kamu semuanya,
dan jangan sampai musuh-musuh kita menyerbu dari belakang. Jika pasukan berkuda
mereka naik ke posisi kamu, hujanilah kuda-kuda itu dengan anak panah.
Kuda-kuda itu pasti tidak kuat dan takut dengan panah. Kita selalu akan unggul,
manakala kamu tetap berjaga di atas bukit ini. Ya Allah, sesungguhnya aku yakin
Engkau akan menolong mereka.

 Menurut pendapat lain, ketika itu Nabi mengatakan, Bila kamu melihat
burung-burung menyambar-nyambar kami yang berada di lereng, maka jangan kamu
kosongkan tempat (bukit) ini, hingga datang perintahku. Dan jika kamu melihat
kami dapat mengalahkan atau dapat menghancurkan mereka sampai terbunuh
semuanya, maka janganlah pula kamu tinggalkan tempat ini.

 Segala sesuatunya telah diatur dan serbuan pun dimulai. Tentara Islam berhasil
mengungguli musuh dan beberapa di antaranya telah terbunuh sementara yang
lainnya kocar-kacir melarikan diri. Tetapi sayang tentara-tentara Islam mulai
tergiur untuk mengambil harta rampasan yang ditinggalkan oleh musuh yang lain
itu, tak terkecuali regu pengawal jalur rawan serbuan yang berada di bagian
atas bukit. Tidak kurang dan 40 orang di antaranya turun ke lereng untuk ikut
serta mengambil harta rampasan yang begitu banyak, sehingga hanya tinggal
sepuluh orang saja yang berada di atas bukit. Komandannya, Abdullah bin Juber,
sebelumnya telah mengingatkan mereka yang turun itu, tetapi tidak berhasil
menghalanginya. Malah mereka menyanggah sang kornandan dengan kata-kata, Tidak
perlu lagi kita bersiaga di sini. Bukankah peperangan telah usai.

 Kelemahan regu pengawal bukit yang hanya berkekuatan sepuluh personal itu
dimanfaatkan Khalid bin Walid yang bertindak sebagai komandan tentara Makkah.
Secepat kilat ia menyerang dan melumpuhkan regu pengawal, dan turun ke lereng
gunung seraya menyerbu habis-habisan dari belakang. Tibalah giliran pasukan
Islam kocar-kacir dibuatnya. Pasukan musuh balik menyerbu mereka dari setiap
sektor, sambil mendekati posisi Nabi saw. Dalam keadaan posisi yang sangat
genting itu disiarkan pula psywar yang menyatakan Nabi telah terbunuh, sehingga
tentara Islam semakin porak-poranda.

 Pada waktu itu Nabi terkena lemparan batu, sampai jatuh pingsan. Tentu saja
semua anak panah musuh terarah kepada beliau. Muka, lutut, bibir bawahnya
luka-luka, sedangkan tutup kepalanya pecah. Posisi Nabi saw. yang hanya diapit
oleh puluhan tentara saja itu, dihujani musuh dengan anak panah yang memaksa
beberapa orang sahabat gugur, karena menghalangi sampainya anak-anak panah itu
ke tubuh Rasulullah saw. Tercatat di antaranya Abu Dajanah, Saad bin Abi Waqas
yang matian-matian bertahan dengan melontarkan hampir seribu buah anak panah,
guna mengusir musuh.

 Selain itu dicatat pula seorang wanita, Ummu Imarah Nusaibah Al Anshary.
Srikandi ini mulanya bertugas sebagai perawat tentara Islam yang luka-luka,
tetapi demi melihat jiwa Nabi terancam maut, segeralah ia memagari diri Nabi
beserta suami dan dua orang putranya, sehingga ia sendiri tewas. Atas
keberaniannya yang luar biasa itu, Rasulullah berkata kepadanya, Semoga Allah
memberkahi kamu sekeluarga.

 Lalu Nusaibah minta kepada Nabi berdoa agar dapat bersama-sama masuk surga
dengan angota-anggota keluarga yang tewas pada waktu itu. Ya Allah, jadikanlah
mereka ini sebagai teman-temanku di surga kelak, ucap Nabi.

 Saat-saat gawat ini diceritakan oleh Nabi saw. kepada sahabat-sahabatnya,
Wanita yang bernama Nusaibah inilah yang paling sibuk memberikan perlawanan
demi membela aku. Ia menderita dua belas luka terkena panah dan pedang.

 Pada saat kritis tersebut ada seorang tentara Quraisy yang bernama Ubai bin
Khalaf menyerang Nabi dengan pedang terhunus, sehingga tidak ada jalan lain
buat Nabi selain membela diri. Diambilnya sebatang tombak terus dilemparkannya
ke tubuh Ubai sehingga tidak jadi membunuh Nabi, karena telah tewas lebih
dahulu. Hanya dalam perang Uhud ini Rasulullah sempat membinasakan jiwa
seseorang dan hanya Ubai bin Khalaf inilah yang mati terkena tombak Nabi,
selama masa peperangannya.

 Untunglah Rasulullah saw. masih mampu bangkit dan keluar dan lubang tempatnya
terperosok dengan bantuan Thalhah bin Ubaidillah.

 Melihat sekelompok orang-orang Musyrik Makkah masih berada di atas gunung,
diperintahkannya satu regu untuk mengejarnya, seraya berseru kepada seluruh
pasukan, Mereka itu tidak pantas mengungguli kita. Ya Allah, tiada kekuatan
bagi kami kecuali karena Engkau.

 Sambil bersiap-siap untuk berlari berkatalah Abu Sofyan, Hari ini adalah hari
pembalasan Perang Badar.

 Perang Uhud ini menelan korban sebanyak 70 orang dari pasukan Islam, dan 23
dan kaum Musyrikin. Suatu hal yang sangat memiriskan perasaan ialah peristiwa
terbunuhnya Syaidina Hamzah, paman Rasulullah saw. Begitu beliau terkena panah,
menari-narilah Hindun isteri Abu Sofyan, lalu mendatangi tempat tergeletaknya
Hamzah dengan maksud melampiaskan dendam kesumat atas kematian ayahnya pada
perang Badar. Dibelahnyalah dada mayat Hamzah, diambil hatinya, lalu
dikunyah-kunyahnya.

 Mengenai Perang Uhud ini terdapat beberapa ayat yang berisi nasihat pelipur
kesedihan kaum Muslimin atas kekalahannya dan mengingatkan akan sebab-sebab
terjadinya kekalahan itu. Dalam surat Ali Imran ayat 138 sampai ayat 142 dan
ayat 153 dikatakan, Dan janganlah kamu lemah semangat dan janganlah bersedih
hati, dan kamulah orang-orang yang lebih tinggi derajatnya, jika kamu
benar-benar beriman. Jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka
sesungguhnya kaum kafir itupun mendapatkan luka yang serupa. Demikianlah, masa
kami pergantikan antara manusia, agar mereka mendapat pelajaran dan supaya
Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang kafir dan
supaya sebagian kamu gugur sebagai syahid. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang beriman (dari dosa-dosanya)
dan membinasakan orang-orang yang kafir. Apakah kamu mengira kamu akan masuk
surga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara
 kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 139-142)

 Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janjiNya kepada kamu, ketika kamu
membunuh mereka dengan izin-Nya, sampai pada saat kamu lemah dan berselisih
dalam urusan itu, dan mendurhakai perintah Rasul, sesudah Allah memperlihatkan
kepada kamu sesuatu yang kamu sukai. Di antara kamu ada pula yang menghendaki
akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka, untuk rnenguji kamu, dan
sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah memiliki karunia atas
orang-orang beriman. Ingatlah ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seorang
pun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu.
Karena itulah Allah menimpakan atas kamu kesedihan di atas kesedihan, supaya
kamu tidak bersedih hati terhadap apa-apa yang luput dari sisi kamu dan
terhadap apa yang menimpa kamu. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu
lakukan. (Ali Imran: 152-153)