Keberadaan kata “sufi” atau “tasawuf” memang cukup aneh. Kata ini menjadi kata kunci dari arus besar gerakan religius yang mendunia. Tapi, tak ada yang bisa memastikan dari mana kata-kata itu muncul, siapa pula pencetusnya?
Kata “sufi” ataupun “tasawuf” tidak pernah ada dalam kamus Hadis, dan tidak pernah muncul pada masa Sahabat Rasulullah Sallâllahu'alaihiwasallam Ada yang menengarai bahwa istilah “sufi” mulai masyhur dipakai pada abad kedua Hijriah. Ada pula yang menengarai pada abad ketiga. Yang jelas, sebelum menjadi istilah yang masyhur itu, kata “sufi” ini telah mengalami serangkaian proses yang mungkin sangat panjang. Tokoh pertama bergelar “sufi” yang dikenal oleh sejarah adalah Abu Hasyim ash-Shufi (w. 150 H). Ia adalah tokoh zuhud di Baghdad yang dikagumi oleh banyak ulama, di antaranya Abu Sufyan ats-Tsauri.
Sebelum Abu Hasyim, kemungkinan besar kata “sufi” sudah mulai banyak dipakai. Ibnu Hajar al-Haitami menyebutkan bahwa Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H) pernah bercerita, “Aku melihat seorang sufi di tempat tawaf. Akhirnya, aku beri dia sesuatu, tapi ia berkata: Aku punya empat danîq (danîq=1/6 dirham) yang cukup untuk kebutuhanku.”
Mengenai latar belakang kemunculan istilah “sufi” itu di tengah-tengah umat Islam, Imam al-Qusyairi memberikan sebuah analisis yang setidaknya bisa memberikan sedikit gambaran mengenai asal muasal kata-kata ini. Kata “sufi” menurutnya muncul sebagai kelanjutan dari istilah “Sahabat”, “Tabiin” dan “Tabiut-Tabiin”.
Setelah Rasulullah Sallallâhu'alaihiwasallam wafat, maka gelar paling mulia yang disematkan kepada sebuah generasi adalah “Sahabat”. Kemudian, orang-orang yang menututi mereka disebut “Tabiin”, dan generasi berikutnya disebut “Tabiut-Tabiin”. Setelah itu, orang-orang yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama disebut dengan julukan “az-Zuhhâd” (kelompok ahli zuhud) atau “al-‘Ubbâd” (kelompok ahli ibadah).
Pada fase ini, kata Imam al-Qusyairi, banyak klaim terhadap gelar az-Zuhhâd dan al-‘Ubbâd. Aliran-aliran sesat mengklaim bahwa merekalah az-Zuhhâd dan al-‘Ubbâd. Hal ini kemudian mengilhami orang-orang zuhud dari kalangan Ahlusunah untuk membuat istilah tersendiri, yaitu tasawuf atau sufi.
Pemetaan yang dilakukan oleh Imam al-Qusyairi tentang fase kelahiran istilah “sufi” ini bisa menjadi salah satu peta penunjuk untuk mengungkap misteri kelahiran tasawuf, sebab beliau merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan ilmu tasawuf. Namun demikian, pendapat beliau itu belum bisa menjadi kesimpulan yang final, karena bila digabung dengan riwayat mengenai penggunaan kata “sufi” oleh Hasan al-Bashri dan gelar sufi yang disematkan kepada Abu Hasyim, maka masih ada kerancuan mengenai pemetaan periodenya. Sebab, awal abad kedua yang ditengarai sebagai kelahiran istilah “sufi” itu masih merupakan masa perpindahan dari masa Tabiin ke Tabiut-Tabiin. Hasan al-Bashri termasuk generasi Tabiin, karena konon beliau pernah bertemu Sayidina Ali bin Abi Thalib Sallâllahu'alaihiwasallam.
Jika mengikuti kronologi yang disampaikan oleh Imam al-Qusyairi ini, berarti tasawuf, secara historik setali tiga uang dengan zuhud. Sufi merupakan istilah khusus yang dilahirkan oleh ulama-ulama Ahlusunah untuk menyebut kelompok zuhud. Tasawuf hanyalah istilah baru untuk sesuatu yang sudah lama. Inti dari tasawuf adalah ajaran untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Sallâllahu'alaihiwasallam dan dipraktikkan dengan sungguh-sungguh oleh para Sahabat, khususnya kalangan Ahlus-Shuffah.
Kesimpulan bahwa inti dari amalan tasawuf telah dipraktekkan pada masa Rasulullah Sallâllahu'alaihiwasallam dan para Sahabat, hal itu hampir menjadi kesepakatan di antara para penulis tentang dunia tasawuf. Ada banyak Sahabat yang mengilhami kalangan sufi, misalnya Khulafaur Rasyidin, Shuhaib bin Sinan, Abu Dzar al-Ghifari, Abud Darda’ dan lain sebagainya.
Namun demikian, masih ada kelompok-kelompok tertentu yang menganggap tasawuf sebagai ajaran baru yang mengada-ada atau bidah yang tercela. Kelompok yang sinis terhadap tasawuf, umumnya berasal dari kalangan Wahabi dan yang sepaham. Ada di antara mereka yang menganggap bahwa benih tasawuf lahir di Kufah melalui kelompok at-Tawwabin atau al-Bakka’in, yakni orang-orang Syiah yang meratapi kematian al-Husain di Karbala dan menampakkan penyesalan yang mendalam terhadap diri mereka karena tidak mampu membela cucu Rasulullah itu dari keganasan pasukan Ibnu Ziyad.
Di antara argumentasi kelompok Wahabi yang menyatakan bahwa tasawuf lahir dari Syiah adalah pernyataan Ibnu an-Nadim dalam al-Fihrisat bahwa Jabir bin Hayyan (w. 208) yang dikenal dengan gelar “ash-Shufi” diklaim oleh orang-orang Syiah dan filsuf sebagai salah satu tokoh penting mereka.
Tuduhan bahwa sufi lahir dari rahim Syiah semacam di atas merupakan tuduhan yang lemah dari segi argumentasi. Sebab, Ibnu an-Nadim tidak pernah menyatakan bahwa Jabir bin Hayyan adalah orang pertama yang bergelar “sufi” apalagi sebagai pencetus istilah sufi. Sementara, pernyataan mereka bahwa tasawuf lahir di Kufah dari benih kelompok at-Tawwabin justru bertentangan dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, ulama yang menjadi idola mereka. Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul-Fatâwâ menyatakan bahwa tasawuf pertama kali muncul di Basrah.
Ihsan Ilahi Zhahir, tokoh Wahabi di Lahore, Pakistan, yang sangat benci terhadap tasawuf, dalam bukunya, at-Tashawwuf: al-Mansya’ wal-Mashâdir banyak menyebutkan pengaruh timbal balik antara Syiah dan tasawuf—menurut asumsinya. Bahkan, dengan tanpa risih ia mendukung pernyataan orang-orang orientalis Barat bahwa paham tasawuf lahir dari ramuan paham keagamaan Yahudi, Majusi, Nasrani, Budha, Hindu dan filsafat Yunani.
Dalam bukunya itu, secara tersirat, Zhahir juga menyatakan bahwa keputusan Ibrahim bin Adham meninggalkan istana untuk menempuh pengembaraan tasawufnya terpengaruh oleh apa yang dilakukan oleh Budha. Menyatakan bahwa Ibrahim bin Adham terpengaruh oleh Budha karena sama-sama meninggalkan istana, sama halnya dengan menyatakan bahwa Islam terpengaruh oleh filsafat Aristoteles karena sama-sama menyatakan bahwa tuhan itu satu.
Dalam hal ini, kalangan Wahabi rupanya banyak meniru cara pandang orientalis dalam mengamati dan menilai tasawuf. Hanya karena adanya satu titik kesamaan dari seribu titik yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain, mereka sudah berani menyim-pulkan bahwa kelompok yang satu terpengaruh atau terlahir dari kelompok yang lain, tanpa dilandasi oleh data-data sejarah sedikitpun. Ini tentu merupakan kesalahan berpikir yang parah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar