Minggu, 14 November 2010

Perang Bani Musthaliq





Perang masih mewarnai tahun-tahun pertama Rasulullah berada di Madinah. Perang ini sesungguhnya tidak diinginkan oleh beliau, tetapi situasi memaksa untuk melakukannya. Situasi yang penuh dengan pengkhianatan dan permusuhan terang-terangan yang dilakukan oleh sekutu-sekutu Quraisy Mekkah di sekitar Madinah. Orang-orang Quraisy Mekkah memang melakukan propaganda ke berbagai wilayah di Jazirah Arab untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap Rasulullah dan kaum muslimin di Madinah. Meski mereka menang dalam Perang Uhud, tetapi mereka sadar bahwa itu belum cukup, karena nyatanya Rasulullahd dan kaum muslimin masih eksis di Madinah, malah berani melawan propaganda itu dengan hal yang sama.

Bani Musthaliq adalah kabilah berikutnya yang diserbu oleh Rasulullah karena telah nyata-nyata mendeklarasikan perang melawan beliau, dan bersiap-siap menyerang Madinah. Sebelum mereka menyerang Madinah, beliau lebih dulu mengerahkan pasukan untuk menyerbu di wilayah mereka. Dua pasukan itu pun bertemu di tempat bernama Muraisi, dan perang pun berkobar dengan hebatnya. Pasukan Bani Musthaliq berhasil dipukul mundur, dan pasukan muslimin berhasil mendapatkah harta rampasan perang yang cukup banyak. Rasulullah kemudian membagi-bagikannya kepada pasukan muslimin, baik yang infanteri (pasukan jalan kaki) maupun kavaleri (pasukan penunggang kuda/unta); satu bagian untuk setiap prajurit infanteri, dua bagian untuk prajurit kavaleri.

Dalam perang tersebut, orang-orang munafik dengan gembongnya, Abdullah bin Ubay turut serta di barisan kaum muslimin. Kali ini, mereka benar-benar ikut berperang, meski hati mereka tidak tulus membantu. Mereka ikut perang hanya karena alasan bahwa selama ini, mereka diklaim sebagai orang-orang pecundang yang malah menggembosi pasukan muslimin dalam setiap peperangan. Alasan lainnya, mereka melihat bahwa kehancuran yang mereka impikan dialami oleh kaum muslimin ternyata tidak kunjung tiba. Kaum muslimin malah selalu pulang dalam setiap peperangan dengan membawa harta rampasan perang yang cukup banyak. Dan, pada setiap pembagian harta rampasan itu, tidak ada satu pun dari kaum munafik yang memperoleh bagian, karena mereka memang tidak ikut perang, sehingga tidak mendapatkan jatah. Dengan ikut perang melawan Bani Musthaliq, mereka berharap mendapatkan jatah. Hanya karena dua alasan itulah mereka ikut perang.

Beberapa saat pasca kemenangan kaum muslimin atas Bani Musthaliq, terjadi insiden kecil antara sesama kaum muslimin. Jahjah bin Sa’id al-Ghifari, pelayan Umar bin Khaththab, yang berasal dari kaum Anshar, terlibat perselisihan dengan Sinan bin Wabr al-Juhani yang berasal dari kaum Muhajirin. Perselisihan itu kemudian berujung dengan perkelahian di antara mereka, hingga hampir-hampir mereka saling membunuh, sebelum kemudian berhasil dilerai oleh para sahabat lainnya. Mendengar insiden itu, Abdullah bin Ubay berkata, “Mengapa mereka melakukan hal itu? Bukankah jumlah mereka di tempat ini jauh lebih banyak? Demi Tuhan, andaikata kita bergabung dengan orang-orang Quraisy Mekkah, pasti akan terjadi seperti yang diungkapkan sebuah pepatah: ‘Besarkan anjingmu, maka ia akan menerkammu’. Kalau kita kembali ke Madinah, pihak yang berkuasa di Madinah pasti nantinya akan orang-orang yang lebih rendah kedudukannya.”

Ucapan Abdullah bin Ubay yang provokatif itu terdengar oleh Zaid bin Arqam. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah yang ketika itu tengah bersama Umar bin Khaththab. Mendengar laporan itu, Umar bin Khaththab naik pitam, lalu berkata—bernada menyuruh—kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah Abbad bin Basyar untuk menghabisi Abdullah bin Ubay!” Dengan tenang, beliau menanggapi, “Wahai Umar, apa jadinya jika orang-orang nantinya menggunjing bahwa Rasulullah membunuh para sahabatnya sendiri? Aku tidak akan memerintahkan seorang pun agar membunuh Abdullah bin Ubay. Perintahkan saja agar pasukan ini segera kembali pulang ke Madinah.” Padahal, ketika itu belum lama mereka selesai dari perang. Perintah yang tidak biasa disampaikan oleh Rasulullah.

Pasukan muslim pun kembali ke Madinah. Dalam perjalanan itulah, Rasulullah menerima wahyu Allah, “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.’ Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS Al-Munafiqun: 8)

Setibanya di Madinah, Abdullah putra Abdullah bin Ubay mendatangi Rasulullah, lalu berkata, “Aku dengar kabar engkau ingin menghukum mati ayahku gara-gara ucapannya. Jika memang dia harus dieksekusi, perintahkanlah aku untuk melakukannya. Akan aku bawa padamu kepalanya yang sudah terpenggal. Demi Allah, sungguh semua orang Khazraj telah mengetahui bahwa tidak ada seorang anak pun yang lebih berbakti kepada orang tuanya dibandingkan aku. Aku sangat takut jika engkau memerintahkan orang lain untuk membunuhnya . Sebab itu, jangan engkau biarkan diriku melihat pembunuh Abullah bin Ubay berkeliaran di antara orang banyak sehingga aku akan membunuhnya. Dengan begitu, aku pasti akan masuk neraka karena telah membunuh orang mukmin demi membela seorang kafir.”

Mendengar perkataan tersebut, Rasulullah menanggapi, “Tidak, kita harus tetap berlaku baik terhadapnya dan mempergaulinya dengan sopan, selama dia masih bersama kita.” Beliau kemudian berkata kepada Umar bin Khaththab, “Apa pendapatmu, wahai Umar? Demi Allah, kalau saja ia sudah engkau bunuh ketika engkau usulkan itu dulu kepadaku, tentu semua orang akan gempar. Tapi, kalau saja sekarang aku perintahkan agar ia dibunuh, tentu engkau dapat langsung membunuhnya.” Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku sudah mengetahui bahwa perintah Rasulullah lebih jauh membawa kebaikan dibandingkan perintahku.”

Demikianlah Perang Bani Musthaliq. Abdullah bin Ubay telah terang-terangan memprovokasi orang-orang untuk meninggalkan Rasulullah dan kaum muslimin, untuk kemudian menjadi sekutu orang-orang Quraisy Mekkah. Umar bin Khaththab sangat geram dengan kelakuan Abdullah bin Ubay, bahkan ‘menyuruh’ Rasulullah agar menghabisinya. Apa sikap yang diambil oleh beliau? Beliau memutuskan untuk membiarkan Abdullah bin Ubay tetap hidup. Memaafkan kesalahan orang bagi Rasulullah jauh lebih baik daripada menumpahkan darah. Perkataan Abdullah bin Ubay memang provokatif, dan berpotensi memecah belah kaum muslimin. Itulah yang membuat Umar geram. Bahkan, anak Abdullah bin Ubay sendiri juga geram. Ia menemui Rasulullah dan meminta izin kepada beliau untuk membunuh ayahnya sendiri dengan tangannya sendiri jika memang beliau memutuskan hukuman mati. Keputusan Rasulullah kemudian diakui oleh Umar bin Khaththab sebagai yang terbaik dan paling. Ketika semua orang merasa marah kepada Abdullah bin Ubay, mereka memutuskan untuk segera membunuhnya. Namun, Rasulullah tidak melihat situasi itu dengan emosi, tapi dengan kepala dingin dan hati yang bening, sehingga keputusannya pun bijaksana.

Pemimpin progresif selalu berpikir jauh ke depan dan tidak bertindak gegabah dalam memutuskan sesuatu, atau bersikap reaktif yang berlebihan, karena itu justru akan berakibat fatal. Rasulullah memaafkan bukan berarti membela dan membenarkan tindakan yang salah, tetapi beliau ingin mengajarkan kepada para sahabat untuk tidak menjadi orang yang reaksioner, karena sering kali tindakan reaktif yang berlebihan berujung pada tindak kekerasan yang justru membuat runyam dan kacau suasana. Sikap memaafkan beliau juga bukan berarti beliau sosok pemimpin yang lembek atau tidak tegas. Justru beliau tegas dengan memutuskan bahwa Abdullah bin Ubay tetap dibiarkan hidup, toh orang-orang sudah tahu sifat dan kelakuannya. Bukankah hidup menanggung beban ketidakpercayaan dari masyarakat jauh lebih sakit daripada mati sebenarnya? Itulah yang dialami oleh Abdullah bin Ubay.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar