Jumat, 31 Desember 2010

Awal Terjadinya Pemalsuan Hadis



Hadis Palsu dalam dunia Hadis lebih populer dengan istilah maudlû’. Secara etimologi terma maudhû’ di ambil dari kalimat “wadho’a syai’an “ yang berarti menurunkan atau meletakkan. Juga bisa berarti isqât (menggugurkan), bisa berarti iftira’ (membuat-buat atau mengada-mengada) juga bisa berarti tarku atau matruk (ditinggalkan).
Sedangkan  secara terminologis Hadis maudlu’ didefinisikan sebagai: Sesuatu yang dibuat-buat atau diciptakan yang kemudian didustakan atas nama Rasulullah Sallallâhu’alaihiwasallam1. Dari definisi ini dapat dipaham bahwa apa saja yang dibuat-buat dan dinisbatkan pada Rasulullah saw, baik itu bersifat positif ataupun negatif, baik itu berupa perkataan, pekerjaan, ataupun penetapan dari beliau maka dinamakan Hadis maudlû’. Namun ada yang berpendapat bahwa yang termasuk dalam katagori Hadis palsu bukan hanya apa yang disandarkan kepada Rasulullah tapi bisa juga disandarkan pada sahabat Nabi dan juga tabi’in.
 Kapan Muncul?
Hadis Nabi yang belum terhimpun dan terkodifikasi dalam satu kitab, dan kedudukannya yang sangat penting dalam kontruksi ajaran Islam merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan Hadis banyak dipalsukan dan ini telah dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh orang-orang tertentu. Sedangkan kapan muncul pemalsuan Hadis terdapat perdebatan tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan Hadis.
 Pertama, Pemalsuan Hadis telah terjadi dizaman Nabi. Pendapat ini antara lain yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1337 H /1954 M). Alasan yang dikemukakan olehnya ialah Hadis mutawatir yang artinya:
barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya (bagiannya) di neraka” (Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri, Muslim, dan lain-lain)
Menurutnya, isi Hadis tersebut telah memberikan suatu gambaran, bahwa kemungkian besar pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis2. Menurutnya, sabda Nabi tersebut bersifat responsif. Maksudnya, ultimatum tersebut muncul sebagai respon atas suatu kejadian yang telah terjadi, yaitu adanya pemalsuan Hadis. Namun ia tidak memberikan bukti-bukti kuat tentang pendapatnya itu, misalnya contoh Hadis palsu yang telah terjadi pada masa Nabi. Dia menyandarkan pendapatnya hanya pada praduga yang tersirat (mafhum) dalam sabda Nabi diatas.
Pendapat Ahmad Amin tersebut dinilai lemah oleh sejumlah pakar Hadis, karena pendapat ini tidak didasarkan pada fakta empiris. Hadis yang dikemukakan oleh Ahmad Amin memang berkualitas mutawatir dan sudah pasti mempunyai bobot akurasi tinggi (qat’î) dan pasti benar. Akan tetapi Hadis tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen bahwa pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis. Karena seandainya pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuah Hadis, niscaya peristiwa itu akan menjadi berita besar dikalangan sahabat Nabi. Merurut Abu Zahw, Hadis pada masa Rasulullah Sallallâhu’alaihiwasallam terpelihara dari pemalsuan. Ini karena pada zaman Nabi wahyu masih turun dan banyak diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkapkan rahasia orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Karena itu mereka tidak berani membuat kebohongan pada Rasulullah Sallallâhu’alaihiwasallam dimasa beliau masih hidup.3
Lebih lanjut, menurut para pakar yang melemahkan pada pendapat Ahmad Amin ini. Sabda Nabi tersebut lebih bersifat prediktif preventif. Artinya Hadis tersebut sebagai warning (peringatan) keras bagi siapa saja yang hendak memalsukan Hadis. Jadi jauh-jauh hari Nabi Muhammad sudah merasa khawatir akan adanya kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab yang dengan mudahnya memalsukan Hadis yang dilatar belakangi oleh berbagai kepentingan.

Kedua, Pemalsuan Hadis yang berkenaan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada zaman Nabi dan dilakukan oleh orang munafik. Sedang pemalsuan Hadis berkenaan dengan masalah agama (amr dîny) pada zaman Nabi belum terjadi. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Shalah al-Din al-Adlabiy. al-Adlaby membedakan pengertian pembicaraan dusta atas nama Nabi dalam arti mutlak dan dalam perspektif istilah ilmu Hadis. Apa yang disebutkan pertama –menurutnya- telah terjadi pada masa Nabi, dan dilakukan oleh orang-orang munafik. Sedangkan yang disebutkan kedua diperkirakan telah terjadi di masa Khalifah Utsman bin Affan.4
Namun lagi-lagi pendapat ini dianggap lemah. Sekalipun al-Adlaby memaparkan contoh Hadis yang dipalsukan pada masa Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Thahawiy dari ‘Abdullah bin Buraydah maupun yang diriwayatkan oleh al-Thabraniy dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Namun ternyata sanad-nya lemah (dla’îf). Karenanya, kedua riwayat dimaksud tidak dapat dijadikan dalil.

Ketiga, menyatakan bahwa pemalsuan Hadis muncul pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Suhbah. Beliau mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya telah melakukan pemalsuan Hadis dimasa tersebut. Pendapat ini juga disampaikan oleh Abu Zahw. Namun pendapat ini memerlukan tinjauan dan analisis historis karena tidak memberikan argumentasi yang pasti serta bukti-bukti empiris tentang pemalsuan Hadis tersebut.5 

Keempat, pemalsuan Hadis mulai muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama Hadis. Menurut pendapat ini, keadaan Hadis di zaman Nabi sampai sebelum terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat 60 H/ 680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan.

Ali VS Mu’awiyah
Data historis menyatakan telah terjadi Fitnah Kubrâ dalam Islam. Dimulai dengan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, kemudian perpecahan politik antara golongan yang pro Ali dengan golongan yang pro Mu’awiyah dalam masalah khilafah, dilanjutkan dengan lahirnya friksi-friksi politik dari konflik tersebut. Ini semua merupakan indikasi kuat yang memungkinkan terjadinya pemalsuan Hadis.
Di awali dengan tragedi berdarah yang sangat memilukan, yaitu terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Tragedi tersebut menyebabkan pos kepemimpinan menjadi kosong dan umat islam mengalami semacam krisis kepemimpinan. Pos strategis ini kemudian menjadi ajang perebutan antar sesama umat islam dan berimplikasi pada tercerai berainya umat dalam friksi-friksi politik. Fenomena ini membuat masing-masing kelompok memerlukan semacam legitimasi religius untuk memperkokoh dan memperkuat eksistensi friksi politiknya. Legitimasi tersebut bisa al-Qur’an ataupun Hadis. Namun mereka lebih memilih Hadis karena al-Qur’an bisa dikatakan mustahil untuk dipalsukan. Dan disinilah terjadi pemalsuan Hadis secara sporadis.
Pada masa terjadinya pertentangan politik antara Ali dan Mu’awiyah, para pendukung masing-masing –yang kurang bertanggung jawab- melakukan berbagai upaya untuk memenangkan perjuangan politiknya. Salah satunya, menurut Abdul Karim al-Khatib adalah dengan pembuatan Hadis-Hadis palsu.6 Contoh Hadis palsu yang dibuat-buat oleh para pendukung Mu’awiyah adalah sebagai berikut:
اْلاَمْنَاءُ ثَلَاثَةُ اَنَا وَجِبْرٍيْلُ وَمُعَاوٍيَة
 Orang yang bisa dipercaya ada tiga; saya, jibril, dan Mu’awyah.          
Begitu juga kelompok Sayyidina Ali, mereka tidak mau kalah. Diantaranya adalah:
 اِذَارَاَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَاقْتُلُوهُ
 Jika kalian melihat Mu’awiyah diatas mimbar maka bunuhlah.
Dari Abbasiyah pun tidak ketinggalan dalam meramaikan pemalsuan Hadis, diantaranya:
اْلعَـبَّاسُ وَصِيِّي وَوَرِثِيْ
 Abbas adalah penerima wasiatku dan ahli warisku
Dilanjutkan dengan perang saudara yang mereka lakukan di Shiffin pada tahun 657 M. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima oleh Ali telah mengakibatkan sekelompok orang Islam pendukung Ali menjadi marah. Mereka menyatakan diri keluar dari golongan Ali dan kemudian dikenal sebagai golongan al-Khawarij. Sempalan dari golongan pendukung Ali itu kemudian bukan hanya memusuhi Mu’awiyah saja, melainkan juga memusuhi Ali. Peristiwa tahkîm (arbitrasi) antara Ali dengan Mu’awiyah tersebut juga membuahkan permusuhan yang tajam pecah kembali dan berlarut antara pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah. Kedua Pendukung golongan ini berusaha untuk saling mengalahkan. Salah satu cara yang mereka tempuh ialah dengan membuat beragam Hadis palsu.7 
Selanjutnya pertentangan politik yang terjadi di kalangan umat Islam tersebut melahirkan perbedaan paham di ranah teologi. Aliran teologi tersebut kemudian beranak pinak dan jumlahnya menjadi cukup banyak itu. Diantara para pendukung masing-masing aliran ada yang membuat Hadis palsu untuk memperkuat aliran yang masing-masing mereka anut.
Pendapat ini adalah paling kuat. Karena sejauh ini belum ditemukan data historis yang menunjukan adanya pemalsuan Hadis dimasa Rasulullah Sallallâhu’alaihiwasallam masih hidup. Hal inipun sangat logis mengingat sumber Hadis masih ada, sehingga ketika ada keragu-raguan atau kontroversi antar para sahabat mengenai Hadis, mereka bisa langsung mengkonfirmasikannya pada Nabi Muhammad Sallallâhu’alaihiwasallam.
Walhasil, pada zaman Nabi belum terdapat bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan Hadis. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ada, pemalsuan Hadis baru berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Walaupun begitu, bahwa tidak mustahil pemalsuan Hadis telah terjadi sebelum itu. Akan tetapi hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Pernyataan ini dikemukakan, karena pertentangan politik antara umat Islam dimulai pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, melainkan telah terjadi tatkala Nabi baru saja wafat. Juga, berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan Hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Alil Wafa/LPSI

Catatan akhir :
1 Periksa: Ibn as-Shalah, abu Amr Utsman bin Abd Rahman, Ulumu al- Hadis Hal. 212. 
2 Lihat: Ahmad Amin, fajr al-Islam hal 221.
3 Lihat: Dr Umi Sumbulah, Kritik Hadis pendekatan histories metodologis, UIN 2008. hal. 7.
4 Lihat: Shalah ad-Din bin Ahmad al-Adlaby Manhaj Naqdu al-Matn hal 40-42 dan 44 
5 Lihat: Dr Umi Sumbulah, Kritik Hadis pendekatan histories metodologis, UIN 2008. hal. 8.
6 Abdul Karim al-Khatib, al-Khilafah wa al-Imarah. (Bairut Dar al-Ma’rifah, 1963) Hal. 198
7 Menurut sebagian ulama, golonhan khowarij tidak ikut serta mambuat Hadis palsu. Karena mereka meyakini bahwa dusta merupakan dosa besar, dan orang yang berdosa besar menurut mereka adalah kafir. Tapi ada juga sebagian ulama yang berpendapar bahwa orang-orang al-khowarij juga turut serta dalam membuat Hadis palsu hanya saja jumlahnya sedikit. Lihat al-khatib, op.cit. hal 417-418

Tidak ada komentar:

Posting Komentar