Jumat, 12 November 2010

METAFISIKA AL-GHAZALI

Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.
Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural)dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani, yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Lain halnya dengan langan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam, menurutnya banyak sekali kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seprti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim (Al-Farabi dan Ibnu Sina), dan ecara tidak langsung kepada ariestoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali, sebagaimana di kemukakanya dalam bukunya Talafut Al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai hal yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut mencakup 20 persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika), dalam 17 soal, mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bada’, sedangkan dalam tiga soal tersebut berlawanan sekali dengan pendirian semua kaum muslim.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir oleh Al-Ghazali antara lain adalah :
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular yang terjadi di alam.
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani dikhirat.
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini berasal dari iradah (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradah Tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradah itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.Penyesuaian yang kongkret antara zarah-zarah abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan “dunia” dan kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradah Tuhan itu sendiri adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk dalam pengertian materialis. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradah-Nya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles menamakan sebab dan peristiwa itu sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausal), tetapi Al-Ghazali, seperti juga Al-Asy’ari, menamakannya hanya ijra al-adat saja. Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpang dari kebiasaan sebab dan akibat itu. Tuhan bukan memindahkan soal yang satu (faktor sebab) kepada soal yang lain (faktor akibat), melainkan menciptakan dan menghancurkannya, dan akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam mengartikan sebab kepada akibat itu, seperti filsafat Alam Al-Asy’ari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar