Jumat, 12 November 2010

SISTEM MUDHARABAH DIPERBANKAN SYARI’AH DALAM PERSPEKTIF FIKIH

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Dalil
1. Pengertian Mudharabah dan dasar-dasar hukum Mudharabah
a. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak yang berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiyah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana firman Allah :
       ....
Artinya : “............di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.

Selain al-dharb , disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qoth’u (potongan) karena pemiliki memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada pula yang mengatakan mudharabah dan qiradh dengan muamalah.
Jadi mudharabah atau qiradh menurut bahasa berarti al-qath’u (potongan0, berjalan, atau bepergian. Sedangkan menurut istilah mudharabah adalah akad antara du pihak (orang) saling menanggung , salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Hanafiyah : Mudharabah adalah memandng tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan pada yang lain dan yang lain punya jasa mengelolah harta itu. Maka mudharabah adalah :
عقدعلى الشركة فى الربح بمال من احدالجانبين وعمال من الاخر
“Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.”

Namun Imam Malik mengatakan bahwa mudharabah adalah :
عقد توكيل صادرمن رب المال لغيره على ان يتجر بخصوص النقدين (الذهب والفضة)
“Akad perwakilan di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak).”

Imam Hanbali mengatakan mudharabah adalah :
عبارة ان يدفع صاحب المال قدرا معينا من ما له الى من يتجرفيه بجزء مشاع معلوم من ربحه
“Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang berdagang dengan bagian dari keuntungan yangdiketahui.”

Dari masalah ini Imam syafi’i juga mengemukakan bahwa mudharabah adalah :
عقد يقتضى ان يدفع شخص لاخر مالا ليتجر فيه
“Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.”

b. Mudharabah dalam literatur fiqih
Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh : “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.
Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor.

c. Dasar-dasar Hukum Mudharabah
Secara eksplisit dalam al-Qur’an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali, namun ayat-ayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus. Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur’an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :
       ....
Artinya : “............di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.

Ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).
Diakatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam
kongsi-kongsi mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.
Ulama’ fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
1) Hukum Mudhrabah menurut Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah antara lain :
        ...
Artinya : “ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu........”

2) Hukum Mudhrabah menurut As-Sunah
Diantara hadits yang berkaitan dengan nudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW. bersabda :

ثلاث فيهن البركة : البيع الى اجل والمقا رضة وخلط البر بالشعير للبيت لاللبيع. (رواه ابن ماجه عن صهيب)

Artinya : “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn Majah dari Shuhaib).

3) Hukum Mudhrabah menurut Ijma’
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh dahabat lainnya.

4) Hukum Mudhrabah menurut Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh orang untuk mengelolah kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan kaya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian dengan adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

2. Rukun dan Syarat Mudharabah
Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas antara lain adalah :
Menurut Imam Syafi’i, rukun-rukun mudharabah atau qiradh ada enam, antara lain :
a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
c. Aqad Mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
d. Mal, yaitu harta pokok atau modal.
e. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
f. Keuntungan.
Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Syarat-syarat sah mudharabah berhubunagan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Menurut Sayyid Sabiq syarat-syarat sah mudharabah sebagai berikut :
a. Barang atau modal yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.
b. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharuf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
c. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
d. Keuntungan yang akan menjadi pemilik pengelolah dan pemilik modal harus jelas presentasinya, umpanya seengah, sepertiga, atau seperempat.
e. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelolah.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :
1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu antara lain :

a. Modal
Seperti dijelaskan di atas, bahwa modal harus berbentuk uang. Untuk menghindari bentuk perselisihan, kontrak mudharabah harus jelas jumlah modalnya. Modal mudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada saat dilanjutkan kontrak mudharabah. Karena dalam kontrak semacam ini si investor dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari suatu hutang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat Madzhab Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutang calon mudharib kepada investor.
Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib agar kontrak ini menjadi sah. Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batas-batas klausul kontrak mudharabah yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.

b. Manajemen
Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk kongsi, hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga, melibatkan diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain tanpa ditentukan oleh investor. Sehingga mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan mudharib, Ulama Fiqh membagi mudharabah kepada dua jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan Mudharabah muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal dengan syarat dan batasan tertetu).
Dalam mudharabah muthlaqah, mudharib boleh dan bebas menggunakan modal untuk membeli barang apapun dari siapapun dan kapanpun ia boleh menjual barang-barang mudharabah dengan cara tunai atau kredit bahkan ketika si mudharib dibatasi pun, ia bebas berdagang sesuai dengan praktik umumnya para pedagang. Akan tetapi dalam mudharabah muqayyadah, mudharib harus mengikuti syarat-syarat dan batasan-batasan yang dikemukakan oleh investor. Misalnya, mudharib harus berdagang barang tertentu, pada tempat tertentu, dan membeli barang pada orang tertentu. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika investor menentukan bahwa mudharib tidak boleh membeli kecuali dari orang tertentu, maka mudharabah itu batal. Abu Saud, penulis kontemporer tentang Bank Islam, mengatakan : “(mudharib) harus memiliki kebebasan muthlak dalam berdagang dengan uang yang diberikan kepadanya dan mengambil segala langkah/keputusan yang ia anggap tepat untuk memperoleh keuntungan maksimal. Segala syarat yang membatasi kebebasan semacam ini merusak keabsahan perjanjian mudharabah.

c. Jangka Waktu
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak mudharabah tidak boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab Hanafi dan Hambali membolehkan klausul demikian. Ulama yang berpendapat pertama memberikan argumen bahwa pembatasan waktu semacam ini bisa membuat peluang yang baik lepas dari tangan mudharib atau mengacaukan rencana-rencananya, sehingga mengakibatkan tidak dapat memperoleh keuntungan dari usaha yang telah dilakukan.
Mengenai penghentian kontrak mudharabah, masing-masing dari pihak berhak untuk mengentikan kontrak tersebut dengan memberitahukan keputusan itu kepada pihak lain. Karena bagi mayoritas fuqaha mudharabah bukanlah suatu kontrak yang mengikat. Tak ada perbedaan pendapat ketika penghentian ini dilakukan sebelum mudharib mulai menjalankan mudharabah. Imam Syafi’i dan Hanafi mengungkapkan bahwa bahkan setelah mudharib menjalankan mudharabah, siapapun diantara kedua belah pihak bisa menghentikannya. Namun Imam Malik tidak mengizinkannya dalam
penghentian kontrak semacam tersebut. Ketika kontrak mudharabah menjadi batal untuk alasan apapun, si mudharib harus diberi upah yang layak sebagai imbalan dari pekerjaan yang telah ia lakukan, meskipun dalam ketentuan mudharabah tidak demikian, namun dilakukan sebagai sebagai suatu kontrak upahan (ijarah). Hal tersebut berdasarkan klausul suatu kontrak upahan, dimana seorang pekerja harus diberi upah atas pekerjaannya.

d. Jaminan
Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan yang bersifat ‘mudharabah’ dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi’i.

e. Pembagian Laba dan Rugi
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan usahanya.
Ketentuan suku laba bagi masing-masing pihak harus ditentukan sebelumnya dalam kontrak mudharabah. Suku laba harus berupa rasio dan bukan jumlah tertentu. Penetapan jumlah tertentu, misalnya seratus satuan mata uang, bagi salah satu pihak
membatalkan mudharabah karena adanya kemungkinan bahwa keuntungan tidak akan mencapai jumlah yang ditetapkan ini. Sebelum sampai kepada suatu angka laba, kongsi mudharabah harus dikonversikan menjadi uang, dan modal harus disisihkan.
Mudharib berhak memotong seluruh biaya yang terkait dengan bisnis dari modal mudharabah.
Pembagian keuntungan diantara dua pihak tentu saja harus berdasarkan proporsi dan tidak memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada rab al-mal (investor). Investor tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian di luar modal yang telah diberikannya, ia hanya bertanggung jawab atas jumlah modal yang telah ditanamkan dalam kongsi. Untuk alasan inilah mudharib tidak diizinkan mengikat kongsi mudharabah dengan suatu jumlah yang melebihi modal yang telah ditanamkan oleh investor dalam kongsi tersebut. Setiap komitmen seperti itu harus dengan persetujuan investor bila investor harus bertanggung jawab atasnya. Namun jika mudharib melakukan kesalahan dan mengabaikan atas kesepakatan bersama dengan investor, maka akan menjadi tanggung jawab mudharib dari segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh pelanggaran itu. Oleh sebab itu, mudharabah dapat dianggap sebagai suatu kontrak dimana investor menanggung sedikit tanggung jawab, berbeda dengan mudharib yang menanggung tanggung jawab tidak terbatas. Sebanding dengan posisi yang tidak menguntungkan pada si mudharib. Investor harus menanggung segala kerugian atau biaya kongsi mudharabah jika mudharib menjalankan tindakan-tindakan sesuai dengan syarat-syarat kontrak dan tidak melakukan salah-guna (misuse) atau salah-urus (mismanage) atas modal yang dipercayakan kepadanya.

3. Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah juga tergantung pada keadaan.
Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas ijin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam pengelolaanya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah’alaih (objek wakalah).
Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada di bawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta tersebut kedudukannya sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalaian pengelola, maka ia wajib menaggungnya.
Ditinjau dari akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.
Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, pengelola megambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikelurkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa-menyewa).
Apabila penelola mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab. Ghasab adalah min al-kabir.

4. Biaya pengelolaan Mudharabah
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal dilingkungan (daerahnya) sendiri, demikian juga jika ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya (modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungankarena mungkin daja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.
Namun, jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya ditengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkanmendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelola mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik; menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga memungkinkan memperoleh keuntungn berikutnya.

5. Tindakan setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meningal dan tanpa izin dari ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib menjamin (mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan keuntungan dibagi dua.
Jika mudharabah telah fasakh (batal), sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang dagangan), pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. Jika pelaksana (pengelola modal) setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya, karena pengelola mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya, demikian pendapat Mazhab Syafi’i dan Hambali.

6. Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut :
a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian,kerugian tersebut menjadi tanggungjawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.

B. Fenomena Yang Ada
1. Sistem Mudharabah diperbankan Syari’ah.
Maraknya perbankan syari’ah dewasa ini bukan merupakan gejala baru dalam dunia bisnis syari’ah. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan, yaitu : ulama, akademisi dan praktisi untukmengembangkan perbankan tersebut dari sekitar pertengahan abad 20. Perkembangan bank syari’ah tersebut juga sampai di negeri Indonesia.
Dewasa ini Bank Syari’ah sedang menjadi pilihan bagi pelaku bisnis perbankan sampai dengan pertengahan tahun 2001. Di Indonesia telah berdiri sepuluh bank umum syari’ah (BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII, BPD DKI), dengan sekitar 85 kantor cabang, ditambah lagi dengan 88 BPR syari’ah (Bank Indonesia, 2004). Dari produk yang ditawarkan oleh bank syari’ah dan ; oleh masyarakat pengguna di Indonesia masih kecil, dibandingkan dengan produk bank konvensional.
Keadaan ini dipengaruhi oleh seberapa banyak produk yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan oleh bank syari’ah. Berdasarkan prinsip dasar produk bank syari’ah memiliki core product pembiayaan berupa produk bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Meskipun, jenis produk pembiayaan dengan akad jual beli (murabahah, salam dan istishna) dan sewa (ijarah dan ijarah muntahia bittamlik) juga dapat dioperasionalkan. Namun, kenyatannya bank syari’ah tingkat dunia maupun di Indonesia produk pembiayaannya masih didominasi oleh produk pembiayaan dengan akad jual beli (tijarah).
Sebagaimana dinyatakan oleh Karim (2001), bahwa : hampir semua bank syari’ah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah. … sedangkan sistem bagi hasil sangat sedikit diterapkan, kecuali di dua negara yaitu Iran (48 %) dan Sudan (62%). Disamping itu, Ibrahim Wade (1999: 199) menggambarkan, bahwa perkembangan pembiayaan bagi hasil baru mencapai 15% per tahun. Pertumbuhan share keuangan perbankan syari’ahdi Indonesia pada tahun 2002 untuk pembiayaan mudharabah sebesar 14,33%; pembiayaan
musyarakah sebesar 2,86%. Sementara pembiayaan murabahah sebesar 72,21% (Mujiyanto, 2004: 15). Hal ini menggambarkan adanya kesenjangan antara konsep teori dengan praktek bank syari’ah.
Kesenjangan antara teori dengan realitas mekanisme operasi produk yang berbasis profit and loss sharing (PLS), tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak sebab atau faktor. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktorinternal perbankan syari’ah dan faktor eksternal bank syari’ah. Secara internal perbankan syari’ah, mungkin belum dipahami secara baik oleh kalangan internal perbankan mekanisme kerja produk mudharabah; pihak bank bersifat risk-averse atas pembiayaan mudharabah. Kontrak mudharabah adalah kontrak menanggung untung dan rugi antara pemilik dana (bank/principals) dengan nasabah (agents). Pada hubungan kontrak bisnis seperti ini diperlukan saling keterbukaan antara kedua belah pihak (pemilik dana dengan nasabah) dalam hal untung dan rugi bisnis yang dijalankan. Jika salah satu pihak (utamanya nasabah) tidak menyampaikan secara transparan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perolehan hasil, sehingga dapat terjadi aktivitas moral hazard dan adverse selection. Dalam transaksi keuangan, masalah moral hazard dan adverse selection merupakan konsekuensi dari adanya asymmetric information. Kontrak mudharabah adalah kontrak keuangan yang sarat dengan asymmetric information. Asymmetric information merupakan sesuatu yang pasti terjadi dalam kontrak mudharabah.

2. Sistem Modharabah dalam Perspektif Fiqih
Permasalahan penyimpangan atau asymmetric information dalam kontrak mudharabah dapat diminimalisasi dengan cara menetapkan struktur insentif kepada pelaku usaha (agent/mudharib) (Saeed, 2003). Jika hal ini dapat dilakukan maka hasil kontrak mudharabah dapat dioptimalkan. Presley & Session (1994) menunjukkan cara-cara untuk mengendalikan asymmetrict information dalam kontrak mudharabah, yang dikenal dengan incentive-compatible constraint . Dengan kata lain, masalah penting yang perlu dicermati dalam kontrak mudharabah adalah memperkecil efek negatif dari asymmetric information. Asymmetric information ini merupakan bagian dari masalah agensi dalam suatu kontrak keuangan. Berangkat dari kondisi yang telah digambarkan di atas, maka perlu dilakukan penelitian masalah agensi (agency) dalam kontrak pembiayaan mudharabah (bagi hasil) di bank syari’ah .

C. Analisis
Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia, terutama di Timur Tengah. Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah.
Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus. Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.

Dari fenomena tersebut di atas dapat dianalis bahwa :
1. Dalil yang dapat dijadikan pegangan tentang mudharabah
a. Dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah
Praktik mudharabah dalam Islam ialah diperbolehkan sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Muzamil ayat 20.
       ....
Artinya : “............di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.

Selain tercantum dalam Al-Qur’an, praktik mudharabah juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW. bersabda :

ثلاث فيهن البركة : البيع الى اجل والمقا رضة وخلط البر بالشعير للبيت لاللبيع. (رواه ابن ماجه عن صهيب)

Artinya : “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn Majah dari Shuhaib)

2. Dalil dari ijma’ (kesepakan ulama’) dan Qiyas
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh dahabat lainnya.
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh orang untuk mengelolah kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan kaya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian dengan adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Mudharabah seperti yang dikembangkan dalam literatur fiqih adalah suatu kontrak dimana seorang yang terampil bisa menggunakan keterampilannya dengan uang dari investor dalam rangka menghasilkan untung. Mudharabah tidak berdasarkan teks syari’ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan sejak periode awal sejarah Islam. Mudharabah yang dikembangkan dalam fiqih adalah suatu kontrak dimana mudharib memiliki kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan mudharabah dalam rangka menghasilkan laba. Karena mudharib merupakan pihak yang lebih lemah didalam kontrak yang per definisi, memberikan keterampilannya sebagai modal pada mudharabah, para Fuqaha tidak membolehkan adanya tuntutan jaminan terhadap mudharib.
2. Di bawah perbankan Islam, mudharabah kemudian digunakan dalam kongsi-kongsi dagang berjangka pendek, yang di situ tidak ada transfer dana kepada pihak mudharib. Tidak ada kebebasan bertindak, karena semua bagian-bagian yang terperinci tentang bagaimana mudharabah harus dijalankan sudah ditetapkan di dalam kontrak. Peran mudharib terbatas pada melaksanakan atas kontrak.
Konsep umum mudharabah (yaitu suatu bentuk pembiayaan modal usaha atau penyaluran kredit kepada mereka yang kekurangan dana tetapi memiliki keterampilan untuk menjalankan dagang atau bisnis dengan suatu keuntungan tidak pasti yang mugkin dapat atau mungkin tidak dapat diwujudkan) tidak tampil menjadi sesuatu yang menonjol atau yang cukup tampak dalam mudharabah perbankan Islam.


B. SARAN-SARAN
1. Diharapkan kepada para ulama dan tokoh masyarakat serta aparat pemerintah untuk selalu memberikan pengertian dan penyuluhan kepada masyarakat tentang mudhrabah (bagi hasil) yang sesuai dengan syariat Islam
2. Diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan penyuluhannya tentang mudhrabah (bagi hasil) baik sesama manusia atau bank, dan barang lainnya agar dapat merubah sistem mudhrabah (bagi hasil) yang berlaku di masyarakat menjadi sistem mudhrabah (bagi hasil) yang sesuai dengan syariat Islam
3. Diharapkan juga kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk selalu bermuamalat tetap pada jalur norma dan aturan agama Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar