Sabtu, 13 November 2010

Makalah As-Sunnah

BAB I
KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, bahwa hany dangan petunjuk dan hidayah-Nya sajalah sajalah makalah ini selesai dan bisa terwujud sehingga sampai dihadapan para pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan Studi Islam pada masa sekarang dan yang akan datang.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai seamakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, tampak studi tentang as-sunnah mejadi sangat penting dan mendapakan perhatian yang sangat luas, baik dikalangan umat Islam maupun dikalangan non Islam. Urgensi as-sunnah masa masa sekarang paling tidak dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan ekternal. Dengan sisi internal dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang berada dalam lingkungan umat Islam itu sendiri, sedangkan sisi ekternal yang dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya diluar luar kalangan Islam.




Paiton, 18 Nopember 2008

Penulis
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AS-SUNNAH
Ada banyak istilah yang sering digunakan dalam pembahasan as-Sunnah, yaitu : as-Sunnah itu sendiri, al-Hadits, Khabar, dan Atsar. Karena itu sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan as-Sunnah, ada baiknya kita memahami dahulu istilah-istilah tersebut agar tidak terjadi salah paham.
As-Sunnah menurut pengertian etimologi (bahasa) bararti tradisi yang bisa dlakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah) baik yang terpuji ataupun yang tercela. Sedangkan menurut terminology (istilah syara’) ada ulama’ yang mengatkan as-Sunnah dan al-Hadits itu sama namun adapula yang membedakan antara keduanya. Adapun ulama’ yang membedakan keduanya adalah Ibnu Taimiyah menurutnya al-Hadits merupakan ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi Muhammad sebatas beliau diangkat menjadi Nabi/Rosul, sedangkan as-Sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan sesudah diangkat menjadi Nabi/Rosul. Sedangkan jumhur ulama’ menyamakan arti as-Sunnah dan al-Hadits.
As-Sunnah juga berarti lawan dari bid’ah (suatu amalan yang tidak dilandasi oleh tradisi atau tata cara agama), dan juga dapat diartikan jalan hidup (siroh) oleh karena itu sunnah Nabi berarti jalan hidupnya, sedangkan sunnah allah adalah jalan/hokum yang telah ditetapkan-Nya (baca QS. Fathir : 43 dan al-Fath : 23). Sedangkan al-Hadits berarti al-Jadid (yang baru), lawan dari al-Qodim (yang dahulu). Atau al-qarib (yang dekat) dan al-khabar (berita). Dalam definisi-definisi diatas tersebut. Kalimat itu mempunyai konsekuensi bahwa as-Sunnah/al-Hadits adalah shohih, karena datangnya dari Nabi SAW,. Padahal kenyataannya tidak demikian, yakni ada pula Hadits hasan, daif dan bahkan ada pula yang maudhu’ (palsu) yang semuaya itu dapat dijadikan sebagai hadits atau as-Sunnah.
Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi tentang as-Sunnah alangkah baiknya kita mengatahui dulu tentang istilah-istilah yang berkaitan dangan as-Sunnah antara lain al-Khabar, al-Atsar dll.
a. Yang dimaksud al-Khabar (pemberitahuan), yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain. Dengan demikian al-Khabar lebih luas daripada as-Sunnah, karena tidak bersumber dari Nabi SAW. Tetapi juga dari sahabat dan tabi’in. Al-Thiby menyamakan arti al-Khabar dangan al-Hadits.
b. Sedangkan al-Atsar berarti bekas atau sisa sesuatu. Para fuqaha memakai istilah atsar khusus dieruntukkan bagi perkataan sahabat tabi’in dan ulama’ salaf. Tetapi jumhur ulama’ menyamakan atsar dengan al-Hadits/as-Sunnah. Al-Nawawi menyatakan bahwa ulama’ fiqih menyebut hadits mauquf (perkataan sahabat) juga atsar.

B. KEDUDUKAN AN-SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW. Itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an dan penyelesaiannya dalam as-Sunnah/al-Hadits. Seandainya usaha itu mengalami kegagalan, disebabkan karena ketentuan hokum dan dan cara pengamalannya itu benar-benar terjadi dimasa Nabi SAW., sehingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kekosongan hokum dan kebekuan beramal, maka baru dialihkan untuk mencari pedoman yang lain yang dibenarkan oleh syariat, baik berupa ijtihad peperangan maupun kelompok yang berbentuk ijma’ ulama’ atau pedoman lainnya, sepanjang tidak bertentangan dangan jiwa syariat.
Al-Syatihi memberikan argumentasinya tentang kedudukan as-sunnah/al-Hadits berada dibawah al-Qur’an, bahwa :
1. Al-Qur’an diterima secara qoth’I (meyakinkan), sedangkan hadits diterima secara dzanni, kecuali hadits mutawatir.
2. Hadits adakalanya menerangkan sesuatuyang bersifat global dalam al-Qur’an, memberi komentar terhadap al-qur’an dan adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan dalam al-Qur’an.
3. Di dalam hadits itu sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni hadits menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an.
Sedangkan menurut mahmud Abu Rayyah, posisi as-Sunnah/al-Hadits itu berada dibawah al-Qur’an, karena al-Qur’an sampai kepada ummat Islam dengan jalan mutawatir dan tiadk ada keraguan sedikitpun. Sedangkan as-Sunnah/al-Hadits sampai kepada ummat Islam tidak semuanya mutawatir.
Disamping itu, allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar menaati rosulnya sebagaimana menaati Allah sendiri, dan berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh rosulnya sebagaimana firmannya :


Artinya : “Apa-apa yang disampaikan Rosuluulah kepadamu terimalah dan jagalah, dan apa-apa yang dilarang rosul, maka tinggalkanlah”.

C. KEHUJAHAN AS-SUNNAH
Nabi SAW. Adalah seorang rosl yang maksum (terjaga dari perbuatan hina, dosa, dan maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalau dipelihara oelh allah SWT. Dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang Rosul.(QS.al-Najm ayat : 3-4, dinyatakan :


Artinya : “dan Nabi tidak berbicara dangan kamauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”.
Sebgaian ulama’ menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan al-qur’an, bukan as-sunnah/hadits. Ketika orang-orang kafir mengingkari terhadap al-qur’an sebagai wahyu dan dianggap sebagai bikinan Muhammad SAW. Lalau Allah menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai bantahan terhadap pengingkaran mereka akan kewahyuan al-qur’an. Atas dasar itu, maka ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan bahwa as-sunnah/hadits termasuk wahyu ilahi.
Namun demikian, alasan ulama’ tersebut dibantah oleh ulama’ lainnya yaitu bahwa walaupun ayat itu diturunkan untuk membela al-qur’an, tetapi dalam mafhum-nya as-sunnah/al-Hadits termasuk didalamnya, karena didalam kaidah ashul dinyatakan bahwa “ungkapan itu menurut lafal bukan pada khususnya sebab”.
Dengan adanya kaidah tersebut, berarti bahwa as-sunnah/hadits juga merupakan wahyu, karena melihat keumuman ayat tersebut dan bukan melihat kekhususan sebabnya.
Sebagian ulama’ mendudukkan Nabi kedalam dua posisi yaitu :
1. Posisinya sebagai manusia biasa (al-Basyar), sehingga beliau diperbolehkan melakukan ijtihad walaupun tanpa berkonsultasi dengan firman Allah melalui wahyu-Nya.
2. Posisinya sebagai Rosulullah, sehingga apapun yang diucapkan, diperbuat dan ditetapkan merupakan bagian integral dari wahyu yang diterima dari Allah SWT. Oleh karena itu, as-Sunnah/al-Hadits Nabawi dapat dibagi kedalam dua macam yaitu :
a. Tawqifi, yaitu kandungannya yang diterima oleh Rosulullah dari wahyu Allah, lalu beliau menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Meskipun kandungannya dinisbatkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbatkan kepada Rosulullah, karena kata-kata itu dinisbatkan kepada yang mengatakannya, meskipun didalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rosulullah menurut pemahamannya terhadap al-qur’an, karena mempunyai tugas menjelaskan AL-Qur’an atau menyimpulkan dengan pertimbangan dan ijtihad.
Pembagian as-Sunnah tersebut menimbulkan dua pendapat yaitu :
Pertama, sunnah harus dijadikan sebagai hujah dalam menetapkan semua hukum dan tidak ada perbedaan apakah Sunnah itu dari wahyu Ilahi (tauqifi) atau dari ijtihad Nabi sendiri (taufiqi) karena beliau adalah orang yang maksum.
Kedua, Sunnah tawfiqi utlak dipakai, karena sebagai penjelas dari Al-Qur’an, sedangkan Sunnah tawfiqi terdapat beberapa alternatif yaitu :
1. Apabila Sunnah itu ditunjukkan oleh suatu petunjuk khusus bahwa sunnah itu dapat dijadikan sebagai hujah sebagaimana mestinya.
2. Apabila Sunnah itu ditunjukkan oleh suatu petunjuk khusus bahwa Sunnah itu khusus bagi Nabi, maka Sunnah itu tidak boleh diamalkan oleh umatnya, misalnya, hukum nikah lebih dari empat, hanya khusus bagi Nabi.
3. Apabila Sunnahnya itu berkaiyan dengan kasus-kasus pidana dan perdata, maka ada dua kemungkinan : (1) Nabi SAW. Menetapkan fakta-faktanya setelah memeriksa semua pihak yang bersengketa, kedua keputusan Nabi SAW. Berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. (2) itulah yang menjadi hujah hukum syari’ah bagi umat islam,sekalipun masih ada kemungkinan keputusan Nabi atas perkara perkara yang bersangkutan tidak benar, karena data yang disampaikan kepada beliau tidak faktual.
4. Apabila Sunnah itu hanya sekedar tradisi bangsa arab pada umumnya, maka sunnah tersebut tidak bisa dijadikan hujahm misalnya ; tradisi memakai jubah dikala perkawinan.
5. Apabila sunnah itu berkaitan dengan pembawaan manusia, seperti makan, minum, tidur dan lain sebagainya.

D. FUNGSI AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR’AN
Hadits –hadits Nabi dalam kaitannya dengan al-qur’an mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-qur’an. Maka dalam hal ini kedua-duanya sama-sama menjadi sumber hukum.
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-qur’an yang masih global, memberi batasan terhadap hal-hal yang masih belum terbatas didalam al-qur’an.
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam al-qur’an.misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seoarang wanita dangan bibinya.
4. Ketetapan hadits itu bisa mengubah hukum dalam al-qur’an.

E. SISTEM PEMBUKAAN AS-SUNNAH
Semua ulama’ dalam Islam sepakat akan pentignnya peranan as-Sunnah dalam berbagai disiplin ajaran Islam, termasuk tafsir, fiqih, dan akhlaq serta seterusnya. Maksud tulisan ini hendak mengkaji bagaimana as-sunnah yang ada mulai ditulis sampai pada proses pengumpulan dalam suatu kitab. Masalah ini mempunyai pengaruh penting dalam menenntukan autentisitas kumpulan sunnah secara umum.
Penulisan Sunnah mengalami penundaan, karena penulisan tersebut dilarang oleh Nabi sendiri. Larangan itu dapat dibenarkan dengan alasan sebagi berikut :
a. Dikhawatirkan akn terjadi pembauran antara Al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga mengakibatkan perubahan (tahrif) ayat-ayat Al-Qur’an, dan hal ini merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.
b. Nabi bermaksud menjaga perintah-perintah (hukum-hukum) syariat dalam batas-batas yang ketat, sehingga beliau tidak menyukai berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya, tentunya pertanyaan yang diberikan itu akan menimbulkan as-Sunnah dan hal itu dapat mengalihkan perhatin para sahabat yang semula sibuk menghafalkan dan memelihara al-qur’an beralih memelihara as-sunnah.
Alasan ini juga dianggap lemah, karena Nabi tak mungkin menghendaki kebekuan as-sunnah sendiri. Semua ulama’ sepakat bahwa al-qur’an dan as-sunnah sama-sama diharapkan dapat menjawab semua masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum yang dihadapi oleh para sahabat waktu itu, sehingga tidak ada penundaan penulisan hadits.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan didepan penulis menyimpulkan bahwa as-Sunnah adalah suatu kebiasaan yang dapat dilakukan oleh semua manusia baik itu baik atau jelek, dan perlunya seseorang mengetahui dan mempelajari berbagai pendapat ulama’ dalam menggunakan istilah-istilah itu agar nantinya orang yang mempelajari atau membaca kitab-kitab dapat memilah-milah, mana yang hadits Nabi dan mana pula yang datang dari sahabat. Dalam kajian ini penulis cenderung untuk menyamakan as-sunnah dangan al-hadits dalam penggunaanya, sebagaimana pendapat para jumhur ulama’, karena pendapat ini banyak digunakan oleh para ulama’ hadits akhir-akhir ini, disamping agar tidak bertele-tele dan terjebak dalam perbedaanyang cenderung membingungkan bagi orang yang masih dalam taraf pemula dalam mempelajari Islam, terutama as-sunnah dan al-hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf, al-Madkhal ila Ilmi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Alm li al-Malayin, 1965
Dr. Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar