BAB I
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim,
Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya makalah ini dapat terselesaikan dan sampai dihadapan para pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan bentuk nilai budaya yang bersifat universal, tanpaknya studi tentang ijtihad ini sangan urgen sekali dalam kehidupan kita saat ini, baik dalam kalangan Islam sendiri maupun diluar Islam pada umumnya.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan system budaya yang ada dilingkungan umat Islam telah kehilangan daya dinamikanya dan menjadi mandek, sehingga tidak mampu mewujudkan peran dan fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin.
Sebagaimana pepatah megatakan tiada gading yang tak retak, maka makalah ini pun tentunya tiada terbebas dari kekurangan dan kelemahan didalamnya. Namun penulis berusaha untuk meminimalkannya. Untuk itu penulis minta maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan, agar kelemahandan kekurangan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaatnya bagi perkembangan Islam pada umumnya, Amin.
Paiton, 11 April 2009
Penulis
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Seperti dikemukakan Imam Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak di sebut berijtihad jika hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mangangkat sebiji sawi.
Menurut Abu Zahrah yang dimaksud dengan ijtihad adalah “mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbat-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Dari definisi ini, ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk atau meng-istinbat-kan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya. Menurut Abu Zahrah, ijtihad bentuk pertama itu unntuk meng-istinbat-kan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama’ Ushul Fiqh, pada masa tertentu mungkin terjadi kevakuman dari ijtihad seperti ini bilamana hasil ijtihad di masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul di kalangan umat Islam. Menurut kalangan hanabila, tidak ada satu masa yang boleh kosong dari kegiatan ijtihad seperti ini karena selalu banyak masalah-masalah baru yang harus dijawab.
B. URGENSI DAN KEDUDUKAN IJTIHAD
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada semua bidang hukum dan syari’ah, asalkan dia mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi hukum untuk melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu :
1. Wajib ain, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, atau dia sendiri mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedang selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahis lainnya. Maka apabila kesemua mujtiahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka mereka berdosa semua.
3. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
Abu Bakar al-Baqilani menyatakan bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan kepada tajdid (pembaruan) karena setiap periode memiliki ciri sendiri sehingga menentukan perubahan hukum. Sedang Abd. Al-Syakur dalam “Muslimat al-Tsubut” mengharuskan ijtihad selalu mengacu pada perubahan dan pembaruan yang bertujuan mencari kebenaran. Nabi bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT. mengutus pada umat disetiap ujung periode (seratus tahun)” seoarang yang membarui agama (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Lebih lanjut, urgensi ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu :
1. Fungsi al-ruju’ atau al-i’dah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimugkinkan kurang relevan.
2. Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan mengahadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai furqon, hudan, dan rahmatil lil’alamin.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), yakni membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya keslahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi.
Untuk mengembangkan lembaga ijtihad, maka perlu upaya dan langkah-langkah khusus, misalnya dengan memasyarakatkan pendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka, serta menggalakkan bahwa orang Islam tidak harus terikat satu madzhab dan mengembangkan toleransi dalam bermadzhab dengan cara mencari pendapat yang paling sesuai dengan kemaslahatan.
C. DASAR HUKUM IJTIHAD
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain :
1. Surat An-Nisa’ ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya : Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-qur’an dan sunah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadits yang baragkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah.
D. FUNGSI IJTIHAD
Imam Syafi’i ra. (150 H – 204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesmepurnaan Al-Qur’an menegasakan : ”Maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Imam Syafi’i diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di samping Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seprti hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperi dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan ang tidak terbatas jumlahnya.
E. LAPANGAN IJTIHAD
Para ulama’ Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadits Rosulullah yang tidak sudah diragukan lagi kepastiannya (qath’i) datang dari Allah dan Rosulnya, seperti Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapangan ijtihad dari segi periwayatannya.
Demikian pula para ulama’Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadits yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti. Wahba az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yag sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al-Qur’an dan sunnah. Misalnya kewajiban melakukan sholat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, dan lain-lain yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Adapaun yang menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rosulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dikategorikan pada tiga macam :
1. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang atau beberapa orang yang tidak sampai ketingkat Hadits Mutawatir. Hadits Ahad dari segi kepastian datangnya dari Rosulullah hanya sampai ketingkat dugaan kuat dalam arti tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal ini seorang mujtahid perlumelakkan ijtihad dengan cara meneliti kebanaran periwayatannya.
2. Lafal-lafal redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunjukkan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadits-hadits yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama’ dalam menetapkan hukum.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tida pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-qur’an da sunnah. Fungsi ijtihad di sini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘uruf, istishab, dan sanad al-zari’ah. Di sini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.
F. SYARAT-SYARAT SEORANG MUJTAHID
Ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid yaitu diantaranya :
1. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam al-qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syari’at. Tidak perlu menghafal diluar kepala dan tidak perlu pula seluruh al-qur’an. Seorang mujtahid cukuo mengetahui tempat-tempat di mana ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam Al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat. Namun pembatasan jumlah ayat-ayat yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali sebagian ulama’ tidak menyepakati. Al-Syaukani (w. 1255 H) umpamanya menyebutkan bahwa ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an berlipat ganda dari jumlah yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali itu.
2. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun penmakaian syara’, seperti yang telah diuaraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al-Qur’an, maka dalam mascalah hadis juga tidak mesti di hafal seluruh hadis yang berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan di mana hadis- hukum yang dapat di jangkau bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu- Arabi (w.543 H), ahli tafsir dari kalangan malikiyah, seperti dinukil wahbah az-zuyhaili, jumlah hadis sekitar 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin hambal bahwa hadis-hadis hukum sekitar 1200 hadis.
3. mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di-mansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rarul-nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini di perlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
4. memepunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’tentang hukum dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtashid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati ulama.
G. TINGKATAN-TINGKATAN IJTIHAD
Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu antara lain :
1. Mujtahid Mustaqil (independen) yaitu tinkat tertinggi, oleh Abu Zahra disebut juga dengan sebagai al-Mujtahid fil al-Syar’I, atau disebut juga dengan Mujtahid Mutlaq.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh salah seorang mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah, akan tetapi, mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan salah seorang mujtahid mustaqil.
3. Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid yangdalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid karena mereka mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.meraka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang telah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya.
4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya buka meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan menggunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan diman keunggulannya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar